Langsung ke konten utama

Male Gender Role Conflict: Sebuah Perspektif Personal dan Refleksi Pribadi Akan Konflik Peran Gender di Masyarakat

Laki-laki itu,
maskulin, berwatak tegas dan keras, tidak ekspresif, kompetitif. Haruskah?



Halo, teman-teman! 
Sudah lama rasanya sejak terakhir gue posting di blog ini dan berbagi ide serta perspektif gue akan banyak hal. Kemarin-kemarin gue banyak banget post tentang hobi gue akan seni pertunjukkan, proses kreatif dan pendewasaan, serta imajinasi gue untuk menciptakan inovasi teknologi. Kali ini, ada yang berbeda. Pepatah bilang tak kenal maka tak sayang. Gue kasih kesempatan teman-teman untuk mengenal dan membaca serta ikut merefleksikan apa yang akan gue tulis di postingan kali ini yang sedikit bersifat personal, gue ingin berbagi cerita dan perspektif gue pribadi akan diri gue dan masyarakat. Coba, dari judul dan pernyataan sekaligus pertanyaan pembuka di awal, sudah ada bayangan gue akan bahas apa? 

Coba, apa?

Sudah?

Yes! Kali ini gue mau bahas tentang apa yang sudah lama menjadi keresahan dalam diri gue pribadi di masyarakat akan peran gender dari laki-laki. Peran gender didasarkan akan perbedaan ekspektasi yang dimiliki individu, kelompok, dan masyarakat dilihat dari nilai-nilai masyarakat dan keyakinan akan gender itu sendiri. Peran gender merupakan sebuah produk interaksi antara individu dengan lingkungan sekitar, dimana lingkungan sekitar suatu individu memberikan gambaran mengenai perilaku yang layak atau seharusnya dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Ekspektasi akan peran gender (gender role) di masyarakat dapat memunculkan berbagai permasalahan. Salah satu permasalahan yang terlihat dan saya pribadi rasakan ialah konflik peran gender pada laki-laki (Male Gender Role Conflict). Identitas gender sendiri muncul melalui interaksi individu dengan lingkungan dan dipengaruhi oleh budaya serta dibentuk dan dikonstruksikan oleh masyarakat. Duh, berat banget?

Oke, oke, gini. Coba teman-teman tonton dulu video ini 👇👇 


Video #HatchKids Discuss Male Gender Stereotypes
(Sumber: Channel Youtube SheKnows)


Gimana? Sudah sedikit lebih paham?

Belum?

Oke, gini. Video tersebut sebagai pengantar dari postingan gue kali ini. Lucu ya melihat anak-anak kecil, diajak untuk berdiskusi mengenai stereotip gender menurut mereka. Pendapatnya sangat beragam dan sangat unik!

"Manly means to not cry, not to be a sissy"
"Men like work hard and they do all the sports and stuff"
"If I were to describe the perfect man, the words would be smart, not judgy, and kind."

Uniknya, anak-anak itu bahkan belum menginjak usia 10 tahun. Tapi, mereka sudah dapat menilai dan memberikan stereotype mereka terhadap laki-laki di bayangan mereka pribadi. Mereka mendapatkan penilaian tersebut, ternyata melalui apa yang sengaja digambarkan dan ditampilkan oleh media. Menurut gue, media memiliki peran untuk dapat membentuk stereotype akan gender. Unik kan?

Tentu.

Tapi, ada opini dari salah satu anak dalam video yang cukup membuat gue tergelitik,


I play with girl toys and boy toys, I don't really care which one is meant for boys or for girls. I just play with them, they are toys.

Jujur, opini yang dilontarkan anak itu memang cukup sederhana. Tapi sungguh, cara pandang dari anak ini cukup menggambarkan bagaimana gue melihat fenomena yang terjadi, diumur dia. 

Yang dapat di highlight dari opini anak tersebut menurut gue bagaimana dia tidak melihat mainan, bahkan mainan loh ya, sebagai sesuatu yang penting untuk diasosiasikan atau dihubungkan sebagai "mainan untuk anak laki-laki" atau "mainan untuk anak perempuan". Sesederhana, "ya gue cuma pengen main, terus kenapa?". Mungkin pikiran sederhana itu muncul karena dia belum tau kali ya sebenarnya realita dan pahitnya kehidupan akan ekspektasi suatu gender di masyarakat itu seperti apa. Lalu? Apa?

Postingan kali ini kan merupakan perspektif personal gue, dimana gue merasa terwakilkan dengan opini sederhana dari anak ini. Sama dengan pemikiran gue sejak dulu kecil, yang saat ini mulai berkembang dan semakin mempertanyakan akan 

mengapa perilaku kita (bahkan sesederhana mainan) diatur dan diharuskan untuk mengikuti standar masyarakat akan gender laki-laki maupun perempuan?

Sebelum gue mulai lebih lanjut, Sangat terbuka apabila terdapat kritik atau saran apapun😀

Oke, jadi, yuk mulai!

Gue dilahirkan dan dibesarkan di keluarga yang hangat. Gue punya 2 kakak perempuan, 1 kakak laki-laki, dan 1 adik laki-laki. Hal ini menjadikan gue sejak kecil bahkan sudah dapat melihat dua perbedaan perilaku dari saudara baik laki-laki maupun perempuan. Orang tua sangat baik hati dan "cukup" memahami apa yang anak-anaknya inginkan. Tapi namanya orang tua ingin yang terbaik buat anak dan memiliki cara sendiri untuk membesarkan dan menanamkan nilai pada anak-anaknya, terkadang gue merasa "dibentuk" atau diarahkan untuk menjadi seperti bayangan mereka (atau mungkin masyarakat).

Laki-laki tuh harus kuat! Nggak boleh lemah! 
Laki-laki tidak boleh menangis!

2 dari perkataan diatas cukup menjadi gambaran akan bagaimana pesan-pesan mengenai peran laki-laki di masyarakat yang gue dapat sejak kecil.  Gue tidak menyalahkan, tapi pada beberapa situasi kok gue merasa gue sebenarnya nggak harus untuk melakukan atau menjadi apa yang seperti mereka katakan, ya? Entahlah. Sudah berapa kali gue tertegun dan menangis akan sesuatu sejak kecil. Setiap menangis, rasanya malu. Aneh, kan? Padahal, menangis bagi gue adalah wujud ekspresi yang lumrah bahkan harus dikeluarkan agar membuat hati tenang. Tapi anggapan dan larangan untuk tidak menangis 'karena gue laki-laki' cukup mengganggu dan menghantui gue yang setiap mau berekspresi jadi malu dan bingung sendiri. 

Tidak hanya itu, masih ada lagi. Gue yang sejak kecil emang suka banget bergaul dan berkomunikasi (read: bawel). Suka banget ngomong dan mengekspresikan apa yang gue rasakan dan pikirkan. Terkadang, mau mengeluarkan tapi masih sering tertahan. "Ibu, ini anaknya dikasih tau ya bu. Suka sekali ngobrol kalau di kelas, bawel banget. Lagian anak laki-laki kok bawel, bu? hehehehe bercanda ya bu..gal.."Pernyataan itu keluar dari salah satu guru waktu gue SD, momennya waktu bagi rapot. Gue ingat betul. 

See? 

Lagian anak laki-laki kok bawel, bu?

Momen lain yang membuat gue semakin bertanya, kenapa? apa yang salah? gue secara jujur hanya ingin mengekspresikan apa yang gue rasakan loh. Oke, mungkin akan jauh lebih baik jika tidak membawa pesan "Lagian anak laki-laki kok...". Karena, gue yang saat itu masih berusia kurang lebih 9 - 10 tahun jadi mikir bahwa laki-laki sedikit berbicara. Tapi untungnya, peristiwa ini gak membuat gue jadi pribadi yang diam dan sering menyendiri, syukurnya.


Sejak kecil jujur gue ngerasa lumayan banyak perbedaan sih, sama kakak laki-laki gue . Bayangin aja, dari kecil, kakak gue punya ambisi dalam olahraga. Dia ikut Sekolah Sepak Bola (SSB) sampai mendapat beasiswa SSB tersebut karena prestasinya di bidang olahraga sepak bola. Di waktu yang sama, gue merasa jauh lebih tertarik dengan seni. Alhasil, orang tua saat itu menawarkan kegiatan tambahan di luar sekolah dan gue memilih untuk les piano. Kecintaan gue sama musik ada sudah dari kecil. Dulu waktu SD, gue punya band gitu dari ekstrakulikuler sekolah. Waktu itu juga, di sekolah gue belum banyak yang bisa bermain piano. Jujur gue cukup bangga karena hampir setiap hari senin gue bertugas untuk menjadi pianist untuk upacara di sekolah.


Gue heran aja sih, antara gue sama kakak sama-sama laki-laki tapi memiliki minat yang berbeda. Entahlah, sudah berapa kali gue dengar dari orang-orang bahwa laki-laki tuh harus olahraga. Terlihat tangguh dan kuat. Tapi, gue nggak tuh? Gue merasa jauh lebih nyaman dengan berekspresi melalui seni. Bukan berarti gue merasa kurang laki, ya wkwk. Tapi ini sederhananya, gue merasa tidak semua penggambaran dan ekspektasi masyarakat akan sifat dan aktivitas yang sebaiknya dijalankan oleh laki-laki itu semua sama. Gue dan kakak gue dapat tetap hidup rukun walau sejak kecil punya minat yang jauh berbeda. 


Tentang kecintaan gue dengan seni, sebenarnya ada satu cerita. Waktu itu, gue masih duduk di Sekolah Dasar. Saat itu sekolah sedang mengadakan pentas seni dan menampilkan berbagai penampilan kreasi dari para murid di sekolah. Gue sendiri terpilih untuk menampilan tari Zapin Melayu. Iya, menari. Saat ditawari untuk menampilkan karya ini sempat ragu, karena orang tua pernah juga  berkata,

Laki-laki tuh bukan menari. Itu untuk perempuan!
Gue jujur sempat ragu, tapi didorong oleh guru dan teman-teman karena mereka bilang bahwa gue memiliki bakat dalam hal ini. Tanpa sepengetahuan orang tua, gue ikut dan berlatih. Sampai tiba saatnya pentas seni, orang tua datang, dan kaget gue menjadi salah satu penampil pada penampilan tari. Saat itu, orang tua hanya diam awalnya tapi sangat terlihat raut wajah tidak suka dan seperti marah mungkin, karena apa yang baru saja dilihat yakni anak laki-lakinya menari. Gue pribadi tidak merasa ada yang salah disini, mungkin hanya gue, yang tidak menjalankan nilai yang dimiliki oleh orang tua. Saat itu, bahkan saat ini gue masih dapat menerima karena setiap dari kita memiliki nilai-nilai yang berbeda akan suatu hal. 

Lama-lama, gue merasa orang tua mulai paham akan apa yang gue suka dan bagaimana gue cinta sama seni, khususnya seni pertunjukkan. Nyanyi, nari, acting. 3 hal yang mungkin terdengar aneh jika dilakukan oleh laki-laki. Tidak seperti gambaran umum yang menggambarkan laki-laki untuk tangguh dan mencintai olahraga. Sampai akhirnya gue berkesempatan untuk tampil menjadi salah satu peran dalam Musikal Petualangan Sherina pada tahun 2017 dan 2018. Disana gue diharuskan untuk bernyanyi, menari, dan acting dalam satu waktu. 3 hal yang sangat gue suka. Orang tua berkesempatan untuk nonton, dan setelah penampilan usai, mereka datang menghampiri gue yang senang baru saja tampil dan dapat disaksikan oleh mereka. Respon yang gue dapat diluar dugaan. Mereka memeluk gue dan mengatakan bahwa mereka bangga dengan apa yang baru saja gue tampilkan di atas panggung. Gue kaget, dan tidak menyangka bahwa nilai yang mungkin dulu mereka anggap tidak sesuai menjadi mereka terima. Gue merasa sangat dihargai atas toleransi orang tua terhadap apa yang gue suka. Walaupun, hal tersebut mungkin bertentangan bagi beberapa orang terkait peran gue sebagai laki-laki di masyarakat. 

Bagaimana kita memahami suatu fenomena tentu dapat menjadi berbeda. Seperti gue yang merasa memiliki nilai yang berbeda dan merasa tidak harus menjalankan peran gender seperti ekspektasi yang dibentuk di masyarakat. Karena gender dibentuk dan dikonstruksikan oleh masyarakat, gue merasa bukan menjadi suatu kewajiban atau keharusan untuk mengikuti. Tidak mengikuti juga bukan berarti egois memilih jalan sendiri dan tidak saling menghargai. Justru, perbedaan pengalaman akan nilai yang gue alami menjadi menarik karena gue merasa hidup dalam spektrum nilai yang kaya dan beragam. Gue dapat jauh lebih memahami banyak hal, terlebih memahami akan apa yang sebenarnya gue suka dan apa yang membuat gue nyaman di tengah ekspektasi akan peran laki-laki di kehidupan masyarakat.

Mengutip salah satu pendapat salah satu anak dalam video #HatchKids Discuss Male Gender Stereotypes,


When you go your own way, it feels good because you free and you can do what you want to do, not what other people said.

Gue sudah memilih dan nyaman untuk menjalani peran dari gender gue yang mungkin tidak banyak sesuai dengan ekspektasi masyarakat, tapi gue bisa hidup damai dan tetap menghargai berbagai perbedaan. Kalau lo?😁💖




Referensi:
Blackstone, Amy. Gender Roles and Society, in Human Ecology: an Encyclopedia of Children, Families, Communities, and Environment. Santa Barbara, CA: Research Gate.
Martin, J. N., & Nakayama, T. K. (2010). Intercultural Communication in Contexts. New York: McGraw-Hill.
Perry, G. Perry & Rachel E. Pauletti, and Patrick J. Cooper. Gender Identity in Childhood: Review of The Literature. International Journal of Behavioral Development. Vol 43 (4). USA: Sage.
Wester, Stephen R. (2008). Male Gender Role Conflict and Multiculturalism: Implications for Counseling Psychology. Volume 36 (2) p. 297

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NETFLIX: Disrupsi dan Inovasi Teknologi

Does Netflix Change Our Lifestyle? Mendengar judulnya saja sudah membuat kalian tergelitik pasti. Kita yang sudah memasuki era digital menjadikan banyak sekali teknologi bermunculan. Teknologi-teknologi tersebut dapat membawa pengaruh khusus untuk kehidupan yang kita jalani sehari-hari loh. Pengaruh tersebut dapat berupa pengaruh negatif maupun positif. Pada post kali ini gue akan banyak membahas seputar teknologi, disrupsi yang terjadi, dan contoh inovasi teknologi yang tanpa sadar telah merubah gaya hidup kita. Namun sebelum kita masuk pada topik inti mengenai Netflix yang pasti menarik banget untuk disimak, gue mau memberikan sedikit pemahaman yang memiliki kaitan erat dengan topik yang kita bahas kali ini, mengenai Disruptive and Innovation . Apakah kedua hal tersebut sama? Istilah disruption ( disruptive innovation ) mungkin cukup asing kita dengar namun fenomena yang terjadi disekitar kita banyak sekali yang menggunakan konsep dari “disrupsi” itu sendiri khususnya dal...

#1 CREATIVE PROJECT: CRANN! Creative Planner App

Hey, People! Senang sekali, akhirnya dapat kesempatan untuk posting lagi di blog ini! Semoga tidak bosa, ya! Seperti judulnya, pada kesempatan kali ini, gue ingin memaparkan hasil diskusi kelompok UAS terkait proyek kreatif yang sedang kita rencanakan. Adapun anggota kelompok yang terlibat untuk merencanakan proyek ini adalah: 1. Megahati Tri 2. Anggrayna Pradikma 3. Nadya Ayu Maharani 4. Muhammad Al-Ghazali A Proyek yang kami jalankan ini menurut kami sangat menarik menjadi sebuah inovasi dan angin segar dalam dunia teknologi. Adapun creative project yang sedang kami rencanakan antara lain: CRANN! Creative Planner App #YANG KEREN PAKE CRANN Proyek ini merupakan aplikasi dengan inovasi baru untuk memberikan kesempatan bagi pemuda untuk merencanakan hidupnya lebih matang. Hal ini mengingat masyarakat usia muda saat ini khususnya yang tinggal di kota besar memiliki kegiatan yang padat sehing...